![]() | ||
"Orang dewasa dengan teman khayalan adalah bodoh" (terj.) |
Antara berkah dan kutukan chatting dengan orang ini. Entah bagaimana awalnya, kita akhirnya sampai pada percakapan tentang keberadaan Sang Pencipta. Sebut saja nama doi: Mr. At (At for Atheist).
Mr. At: Aku hanya akan tetap bertahan pada gagasan bahwa percaya itu adalah melihat (believing is seeing). Konyol saja tidak melihat apa yang kau sebut dengan Tuhan tapi meyakini keberadaannya.
Aku: aku tidak akan menyalahkan gagasanmu, tapi aku tidak sependapat.
Mr. At: lalu apa gagasanmu?
Aku: hampir mirip, menurutku percaya itu adalah melihat buktinya (believing is seeing the evidence).
Mr. At: aku menyimak.
Aku: kau punya kekasih?
Mr. At: kenapa aku harus memberitahumu?
Aku: okay, anggap saja punya. Aku cukup yakin walaupun dia memberitahumu bahwa dia mencintaimu, tapi kamu tidak tahu yang sesungguhnya. Maksudku, sikapnya padamu lah yang bisa memberitahu apakah dia mencintaimu. Pada dasarnya setiap hal dalam hidup, kita tidak pernah tahu kebenarannya, yang bisa kita lakukan hanyalah menemukan buktinya.
Mr. At: aku paham. Beri tahu hubungannya dengan Tuhan.
Aku: bukan kah begitu para ilmuwan menyatakan bahwa alam semesta bermula dari ledakan dashyat, atau para ahli kedokteran mengatakan bahwa merokok merusak kesehatan jantung, atau seorang hakim memutuskan perkara di pengadilan? Mereka tidak pernah tahu yang sebenarnya, tapi karena buktinya mengatakan demikian, maka demikianlah kesimpulannya. Sains, hukum dan semunya menjadikan bukti sebagai rule of thumb, tapi kenapa dengan Tuhan itu tidak berlaku?
Mr. At: memang apa bukti keberadaan Tuhan?
Aku: makhluk hidup, fenomena alam, planet, alam semesta, tidak kah itu semua terlalu menakjubkan untuk sebuah kebetulan?
Mr. At: tapi itu tidak membuktikan Tuhan ada.
Aku: tapi membuktikan bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari kita yang mengatur semuanya. Dan Tuhan adalah istilah yang lebih singkat.
Mr. At: tapi bagaimanapun juga, bukti dapat dimanipulasi, jika kau paham maksudku.
Aku: teruskan.
Mr. At: kau pernah melakukan tindakan kriminal?
Aku: kenapa aku harus memberitahumu?
Mr. At: jika kau membunuh seseorang dengan senjata api, setelah itu kau menghapus sidik jarimu, lalu menempatkan senjata tersebut di rumahku dengan sidik jariku entah bagaimana ada disitu, maka mungkin sekali bukti-bukti tersebut akan menjadi petunjuk yang menyesatkan.
-- hening sesaat--
Aku: itu benar. Tapi sumber dari bukti yang terekayasa ada dua, yaitu intensi usernya dan jumlah buktinya yang kurang. Ketika seorang ilmuwan meneliti tentang bahaya MSG pada makanan dan dia memiliki intensi untuk mengumpulkan bukti atau sampel yang hanya mendukung hipotesa yang ingin dia buktikan, maka hasilnya akan diragukan. Begitu juga ketika intensinya netral, tapi ilmuwan tersebut tidak memiliki sampel yang cukup banyak untuk mewakili populasi yang ada hasilnya juga tidak akan mendekati kebenaran. Demikian juga dengan kasus kriminal itu, intensiku yang memang ingin "membelokkan" bukti jika ditambah dengan investigasi yang tidak serius dalam mengumpulkan sebanyak-banyak mungkin bukti hanya akan berakhir dengan kesimpulan kaulah pembunuhnya.
Mr. At: bagaimana itu semua bisa membantuku meyakini keberadaanNya?
Aku: ya kau harus mencegah itu dengan memiliki intensi yang netral. Maksudku jangan skeptis dulu ketika akan mempelajari tentang agama, netral dan buka pikiranmu. Dan tentang bukti Dia ada, aku rasa sudah terlalu banyak.
Mr. At: bagaimana aku tahu Tuhan mana yang benar? maksudku, lihat setiap agama menyatakan Tuhannya lah yang benar.
Aku: yakini saja dulu bahwa Dia memang ada, itu sudah langkah pertama. Selanjutnya pelajari saja agama yang kamu ketahui dan biarkan akal sehatmu membimbingmu.
Mr. At: terdengar mudah.
Aku: memang.
--end.
source picture: wallpapervortex.com
Comments
Post a Comment