Siapa wanita paling anggun yang pernah kamu temui dalam hidupmu?
Tanyalah aku, jawabannya adalah Eiffel.
---
Tiba di Paris pagi hari setelah perjalanan 12 jam dari Cologne melewati Belgia. Aku dan teman sekamarku mengikuti tur singkat seharga 30 Euro tanpa menginap. Di atas bis dua tingkat ini, kami beruntung mendapatkan tempat duduk baris pertama di lantai atas. Masih jelas di ingatanku pemandangan alam Eropa sepanjang perjalanan.
Savana hijau yang luas, yang sesekali di selingi oleh rumah penduduk di pedesaan Eropa.
Turbin- turbin pembangkit listrik tenaga angin yang menjulang tinggi berbaris rapi.
Seperti melihat pemandangan terasering dalam perjalanan Singaraja ke Denpasar untuk pertama kalinya, begitulah perasaanku saat melihat pemandangan ini pertama kalinya, tapi perasaan itu dikalikan dua.
I fall for Europe all over again.
"To all moslem friends, please mind that the sausage we gave you for breakfast, in fact contains a pork. you can switch it with some fruits we have downstair".
Aku hanya tersenyum dengan pengumuman itu. Baik sekali dia memberi tahu, walaupun sebelumnya aku sudah membaca ingredients di kemasannya tertulis "schweine".
"Do you want it?" tawarku memberikan sausage tersebut pada seorang mahasiswa asal Bulgaria yang duduk di barisan kursi sebelahku.
---
Memasuki kota Paris, aku mulai merapikan jilbabku. Mengeluarkan perlengkapan make up, menyapu wajahku dengan alas bedak, goresan tipis eyeliner dan satu sapuan maskara.
Sambil menghadap ke arah teman sekamarku "hey, do I look good?"
"Yeah good, at least no one will notice you don't shower".
Sesaat setelah bis memutari square yang aku tidak ingat namanya, persis dari balik salah satu bangunan, aku tidak akan pernah lupa rasanya pertama kali melihat menara Eiffel, seperti melihat wanita paling anggun yang pernah ada, menjulang tinggi bukan dengan gagahnya, tapi dengan elegannya.
Tanyalah aku, jawabannya adalah Eiffel.
---
Tiba di Paris pagi hari setelah perjalanan 12 jam dari Cologne melewati Belgia. Aku dan teman sekamarku mengikuti tur singkat seharga 30 Euro tanpa menginap. Di atas bis dua tingkat ini, kami beruntung mendapatkan tempat duduk baris pertama di lantai atas. Masih jelas di ingatanku pemandangan alam Eropa sepanjang perjalanan.
Savana hijau yang luas, yang sesekali di selingi oleh rumah penduduk di pedesaan Eropa.
Turbin- turbin pembangkit listrik tenaga angin yang menjulang tinggi berbaris rapi.
Seperti melihat pemandangan terasering dalam perjalanan Singaraja ke Denpasar untuk pertama kalinya, begitulah perasaanku saat melihat pemandangan ini pertama kalinya, tapi perasaan itu dikalikan dua.
I fall for Europe all over again.
![]() |
Seine River in Paris. I love viewing this. |
Aku hanya tersenyum dengan pengumuman itu. Baik sekali dia memberi tahu, walaupun sebelumnya aku sudah membaca ingredients di kemasannya tertulis "schweine".
"Do you want it?" tawarku memberikan sausage tersebut pada seorang mahasiswa asal Bulgaria yang duduk di barisan kursi sebelahku.
---
![]() |
The most elegant lady on earth, yet my picture is so bad, sorry. |
Sambil menghadap ke arah teman sekamarku "hey, do I look good?"
"Yeah good, at least no one will notice you don't shower".
Sesaat setelah bis memutari square yang aku tidak ingat namanya, persis dari balik salah satu bangunan, aku tidak akan pernah lupa rasanya pertama kali melihat menara Eiffel, seperti melihat wanita paling anggun yang pernah ada, menjulang tinggi bukan dengan gagahnya, tapi dengan elegannya.
Kalau Maleficent menyihir Eiffel menjadi manusia, aku yakin dia pasti seorang wanita!
Ketakjubanku pada menara Eiffel bukan pada kepopuleran bangunan ini, tapi lebih karena kemampuan perancangnya membuat menara ini tampak hidup dan punya daya tarik, seperti seorang model yang berjalan di catwalk lalu semua orang terkagum padanya.
---
"Indonesian, right? satu euro dapat lima". Tawar seorang penjual suvenir berkulit hitam saat aku sedang mengambil gambar Eiffel.
"You speak my language" kataku sambil tersenyum.
"All of us do. I met so many Indonesian visiting this place, so I know your language" sambil membalas senyumku.
Tapi aku lebih tertarik bukan pada suvenirnya, melainkan pada kenapa dia berjualan di sini, di kota ini, di negara ini.
"Are you a French?"
"No, I just make money here"
"Is it good money?"
Dia hanya memberikan mimik enggan menjawab.
"You know what" lanjutku "If I were you, I would leave this country, go abroad, teaching English and French. I am sure you speak both languages".
"I do, but I can't leave this country"
"Why is that?" tanyaku heran.
"I came here illegally, you know" kalimatnya terpotong berharap aku mengetahui maksudnya tanpa perlu penjelasan.
Aku mengeluarkan satu lembar uang dari dompetku, "so I'll take this and this" sambil menunjuk suvenir yang aku pilih dengan asal, menerimanya dan menutup transaksi singkat itu dengan "I wish you good luck my friend".
---
Matahari mulai berpamitan dari cakrawala, dan dengan seketika lampu- lampu di sepanjang rangka bangunan Eiffel mulai menyala.
Aku semakin terpesona.
Kini Eiffel bukan hanya seorang wanita anggun, tapi juga wanita anggun yang glamour. Melihat Eiffel di malam hari, seperti melihat wanita seksi yang masuk ke klub malam, seriously.
Paris is such a feminine city.
Jika satu ayat di Al-Quran yang berbunyi bahwa dunia hanyalah kesenangan sementara, maka Kota Paris tepat sekali menjadi salah satu referensi dari kata "dunia" yang dimaksud.
Sudah hampir jam 10 pikirku, bis yang mengantar kami telah parkir di tempat semula kami diturunkan. Aku bergegas menuju ke dalam bis. Ketinggalan bis di kota ini, sendiri, sungguh bukan petualangan berikutnya yang aku inginkan.
Lelah.
"Wahai wanita anggun, aku pamit dulu".
Ketakjubanku pada menara Eiffel bukan pada kepopuleran bangunan ini, tapi lebih karena kemampuan perancangnya membuat menara ini tampak hidup dan punya daya tarik, seperti seorang model yang berjalan di catwalk lalu semua orang terkagum padanya.
---
"Indonesian, right? satu euro dapat lima". Tawar seorang penjual suvenir berkulit hitam saat aku sedang mengambil gambar Eiffel.
"You speak my language" kataku sambil tersenyum.
"All of us do. I met so many Indonesian visiting this place, so I know your language" sambil membalas senyumku.
Tapi aku lebih tertarik bukan pada suvenirnya, melainkan pada kenapa dia berjualan di sini, di kota ini, di negara ini.
"Are you a French?"
"No, I just make money here"
"Is it good money?"
Dia hanya memberikan mimik enggan menjawab.
"You know what" lanjutku "If I were you, I would leave this country, go abroad, teaching English and French. I am sure you speak both languages".
"I do, but I can't leave this country"
"Why is that?" tanyaku heran.
"I came here illegally, you know" kalimatnya terpotong berharap aku mengetahui maksudnya tanpa perlu penjelasan.
Aku mengeluarkan satu lembar uang dari dompetku, "so I'll take this and this" sambil menunjuk suvenir yang aku pilih dengan asal, menerimanya dan menutup transaksi singkat itu dengan "I wish you good luck my friend".
---
![]() |
self-taken picture project sort of succeed |
Aku semakin terpesona.
Kini Eiffel bukan hanya seorang wanita anggun, tapi juga wanita anggun yang glamour. Melihat Eiffel di malam hari, seperti melihat wanita seksi yang masuk ke klub malam, seriously.
Paris is such a feminine city.
Jika satu ayat di Al-Quran yang berbunyi bahwa dunia hanyalah kesenangan sementara, maka Kota Paris tepat sekali menjadi salah satu referensi dari kata "dunia" yang dimaksud.
Sudah hampir jam 10 pikirku, bis yang mengantar kami telah parkir di tempat semula kami diturunkan. Aku bergegas menuju ke dalam bis. Ketinggalan bis di kota ini, sendiri, sungguh bukan petualangan berikutnya yang aku inginkan.
Lelah.
"Wahai wanita anggun, aku pamit dulu".
Comments
Post a Comment