Skip to main content

Efferen, Area Kos-kosan Mahasiswa di Cologne

Satu semester aku di Cologne, mungkin ini akan menjadi bagian terakhir dalam ceritaku. Ada banyak sekali kejadian yang menyedihkan daripada menyenangkan selama aku disana. Tapi aku lebih memilih untuk mengenang tanpa menulis hal tersebut. Bagaimanapun juga pengalaman pahit yang aku rasakan telah menjadi turning point dalam satu titik di hidupku.

People writing names of their loved ones, lock it, and
throw the key away to the Rhine river.
Anyway, aku pindah flat setelah sempat bermasalah dengan flat pertamaku, sang pemilik memutuskan kontrak sepihak dan aku sama sekali tidak punya rencana akan tinggal dimana saat itu. Masalah yang hampir dibawa ke pengadilan. Entah dia hanya menggertak atau bersungguh- sungguh, tapi yang pasti aku tidak mau berurusan dengan hukum selama tinggal di negara orang lain.

In the end, aku mulai mencari flat nganggur di salah satu situs yang mempertemukan landlord dan tenant, demi Tuhan susahnya mencari flat di Cologne. Lalu aku teringat pernah berbalas email dengan seseorang yang sekarang juga sedang tinggal di kota yang sama denganku. Sambil iseng aku menghubunginya lagi dan menanyakan kabarnya. Tak terduga, dia pun sedang mencari orang untuk diajak sharing room di flatnya di Efferen. Such a coincidence!

Jadilah aku tinggal bersamanya sampai masa akhir studiku di Cologne. Teman yang baik, cewek asal Kyrgistan, sebuah negara di Asia Tengah. Muslim yang bukan muslim.

Saat itu sudah memasuki musim semi, aku dan dia sering memasak bersama, patungan untuk membeli bahan masakan, menghabiskan bumbu masakan yang tersedia untuk mencoba masakan apapun yang mungkin berhasil untuk dicoba. Dia tidak terlalu jago memasak, karena setiap kali memasak menunya hanya dua, jika bukan roti dicampur telur lalu digoreng, maka nasi campur kuah ayam, "this is how we cook rice in my country" ngakunya.

Sementara aku, I always want to try something new. Setiap kali aku menawarkan ide untuk masakan "ok now I'll be the chef", dengan tersenyum dia akan mengatakan "ah please, I'm glad if you cook, you cook good!"

--
Pagi itu, semua barang sudah aku kemas, tiket pesawat sudah siap di kantong luar ranselku, jam 07.00 pagi aku bangunkan dia perlahan "hey, I'm flying today, thanks alot for all your help" bisikku. Dengan mata yang masih setengah mengantuk "no problem, take care." lirihnya.

Pagi itu dengan dua koper dan satu ransel di punggung, aku berjalan menyusuri Hahnenstrasse menuju halte Efferen untuk kemudian ke Cologne/Bonn International Airport. Itineraryku cukup panjang, transit dua kali di Munich lalu Abu Dhabi hingga akhirnya ke Jakarta dan berakhir di kota ternyaman, Jogja.

--
Cologne kota yang sangat indah, Jerman negara yang sangat maju, dan Eropa adalah benua yang diimpikan oleh benua-benua lainnya. Berharap suatu saat kembali kesana untuk menjelajahi bagian lainnya, mungkin bersama dengan orang terkasih. Sesungguhnya dalam traveling, tujuan adalah nomor dua, karena yang pertama adalah dengan siapa kamu pergi.

How I love Tulips and Park!

Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana Menentukan Ho dan H1?

Aku pernah berdiskusi dengan temanku Fe tentang penentuan hipotesis dalam statistik. waktu itu lagi bahas hm.. regresi linear kalo gak salah.. setelah lama ngobrol sambil aku bolak- balik catatannya dia yang super rapi itu, sampailah aku pada pertanyaan "terus yang membedakan H0 dan H1 apa dong?" sambil aku menatap bego, terus dia jawab "ya.. kalo H1 itu kan hipotesis yang (berbau) positif, dan H0 itu yang negatif" namun ada keraguan dalam nada suaranya. Karena pingin buktiin kata si Fe, akhirnya aku search2 lagi (padahal udah ngambil kelas statistik industri tapi belom paham2 juga hehehe). Karena aku gak terlalu suka buku statistik yang terlalu matematik (a.k.a gak paham), akhirnya aku cari yang isinya lebih banyak ceritanya daripada rumus, ketemulah buku "Intermediate Statistics for DUMMIES". Batinku "gue bgt nih judulnya". Eh benar, penjelasannya amazing! bukunya penuh joke jadi bacanya asyik bgt. secara singkat H0 adalah hipotesis/ asums

Expect LESS.

Aku sudah sering banget dengar kata-kata diatas "Give more, expect less" , yang kurang lebih artinya "sedikit berharap banyak memberi". tapi suatu kisah tentang Nabi Muhammad SAW, membuat kata-kata itu menjadi lebih bermakna lagi buat aku. Beliau memberi contoh bahwa kita dituntut untuk memberi lebih banyak, atau memberi dengan pemberian yang lebih baik dengan contoh yang sederhana; menjawab salam. Ceritanya singkat aja. Suatu hari ketika Rasulullah SAW sedang duduk bersama para sahabatnya, seseorang datang dan mengucapkan, “Assalaamu’alaikum.” Maka Rasulullah SAW pun membalas dengan ucapan “Wa’alaikum salaam wa rahmah” Orang kedua datang dengan mengucapkan “Assalaamu’alaikum wa rahmatullah” Maka Rasulullah membalas dengan, “Wa’alaikum salaam wa rahmatullah wabarakatuh” . Ketika orang ketiga datang dan mengucapkan “Assalaamu’alaikum wa rahmatullah wabarakatuhu.” Rasulullah SAW menjawab: ”Wa’alaika". perhatikan deh. Orang pertama: Keselamatan at

Perbedaan Confidence Level dan Significance Level dalam Statistik

"Kenapa harus 95% confidence level?" tanya Anton, mahasiswa yang duduknya selalu di baris paling belakang sayap kiri. Sebuah pertanyaan yang bahkan ahli statistik pun memilih untuk mengatakan itu sebagai nilai moderate biar tidak memusingkan mahasiswa. Pak Zaki hanya manggut menunggu usaha tim presenter untuk menjawab pertanyaan klasik tersebut. Pandu yang paling vokal diantara anggota lainnya mulai membuka suara. Aku memperhatikan sesaat jawabannya. Tidak paham. -- Brain Games sebuah acara menarik di channel National Geographic menghibur diriku sore itu. Seorang pesulap mendekati pria secara acak untuk diajak bermain. "Kau tau berapa panjang sungai Amazon?" tanya si pesulap. Pria tersebut dengan segera menggelengkan kepala. Tampak soalnya terlalu susah. "Baiklah, biar aku permudah. Sebut saja sebuah interval angka antara berapa dan berapa kilometer panjangnya" kembali si pesulap menantangnya. 1 detik... 2 detik... 3 de